Hummm,
akhirnya…. Pada Sabtu (7/5/2012), Saya dan sebagian teman-teman biologi jadi
juga mengunjungi Gunung Bromo, salah satu gunung berapi yang wajib untuk
dikunjugi di Benua Asia ini. Selagi masih kuliah di Malang, saya memang
memiliki rencana sejak dulu untuk menyaksikan keindahan alam taman nasional
bromo. Dan kesempatan untuk berwisata ke Gunung Bromo baru datang di semester akhir
perkuliahanku di Biologi Unmuh Malang. Ini dia nih, perjalanan yang takkan
pernah kulupakan bersama teman2 Biologi. Yang ikut dalam rombongan ini adalah
Jhon, Mei & Vicky, Qiqi, Mia & Tapir, dan Donny. Sayang memang, tidak
semua teman-teman sekelas bisa ikut ke Bromo. Semoga kelak bisa mengunjungi
Bromo lagi bersama teman-teman Biologi A.
Sekitar pukul
21.30 WIB, kami start dari BCT dan meluncur ke Bromo dengan mobil carteran.
Inilah saat yang tepat bagi kami semua untuk melupakan sejenak tentang segala
seluk beluk kuliah, ya khususnya skripsi. Horeeee.
Rute yang
kami lalui adalah jalur Probolinggo. Tentu mengasyikkan, karena inilah jalur
utama bagi wisatawan. Dengan jalannya yang bersahabat, tentu tidak menimbulkan
kekhawatiran sedikitpun bagi kami. Sebelum menempuh perjalanan wisata ini, kami
mempersiapkan segala bekal yang kami butuhkan. Seperti minuman, snack, vitamin,
obat mabuk, dan tentu saja Kopi buat pak Sopir.
Di dalam
mobil, kami selingi dengan canda dan tawa agar tidak terasa bosan dalam
perjalanan. Memasuki kabupaten Pasuruan, kami semua mulai ngantuk. Tapi, aku
sendiri mencoba untuk bertahan dengan melihat keadaan daerah yang kami lewati.
Begitu pula ketika memasuki Probolinggo, kami semua mulai merasa kelelahan. Melewati
kab. Pasuruan dan Probolinggo, mengingatkan saya ketika berada di pulau Madura,
tempat nenek moyang saya dilahirkan. Setiap daerah memang memiliki keunikan dan
kesamaanya tersendiri.
Mulai
memasuki jalanan utama ke Bromo, semua mulut kami lebih banyak terdiam. Karena
keadaan yang gelap, kami tidak bisa menikmati secara sempurna keindahan alam di
sepanjang perjalanan menuju Bromo. Namun, kami semua sadar dan takjub, inilah
Karya Tuhan yang akan kami kunjungi dan nikmati keindahannya. Semakin mendekati
lokasi, hati kami semakin tidak sabaran untuk melihatnya.
Akhirnya,
mobil yang kami tumpangi tiba tepat di pintu masuk lokasi wisata gunung Bromo.
Ada yang unik. Ketika kami tiba di sana, banyak orang mengerubungi mobil kami,
mulai tukang parker, penjual syal, dan calo hartop. Sungguh seperti artis, tapi
sungguh tidak mengenakkan juga.
Tidak lama
kemudian, satu per satu dari kami keluar dari mobil. Kami pun langsung
menanyakan harga hardtop atau jeep yang akan membawa kami ke puncak, kemudian
kawah Bromo yang pada saat itu dalam status normal. Dalam hal tawar menawar, di
sinilah harga diri mahasiswa di pertaruhkan. Karena ini adalah negosiasi yang
mementingkan paradigma Menang-Kalah. Sebagai mahasiswa, kami tidak mau di tipu
tentunya. Menurut informasi umum yang kami peroleh, bahwa penyewaan Hardtop itu
hanya Rp. 400rb per 8 orang, untuk menuju puncak dan kawah Bromo. Namun, calo
Hardtop tidak setuju ketika kami tawari dengan harga tersebut. Namanya calo ya
memang bangsat, super bangsat malahan. Tidak mengenal itu dari daerah mana,dan
agamanya apa. Kalo calo ya calo, dan itu bangsat menurut kami, serta dilarang
oleh agama, dan dikenai denda oleh negara. Betul kan?
Kami tidak
menyerah. Akhirnya saya, Jhon, dan Donny turun ke bawah untuk mencari carteran
hardtop yang lain. Sayang, tidak ada satu orang pun yang mendekati kami untuk
menawari hartop. Akhirnya kami menuju pos jaga yang ada disana, berharap bisa
berkonsultasi dengan orang yang jujur. Namun apa daya, yang kami temui di pos
jaga itu adalah para calo yang barusan menghantui kami di pintu masuk wisata
Bromo. Oh Tuhan. Kami menyerah, akal licik sang calo telah mengalahkan rencana kami
yang sama sekali tidak memiliki pengalaman.
“Gimana mas?,
dari pada sampean gak dapat hardtop dan tidak bisa melihat sunrise,” ujar calo
bangsat itu. “Ya udah mas, gak apa” ujar kami. Setelah membayar DP dan mengikat
janji untuk di jemput pada pukul 02.00, kami segera menuju mobil dan mengambil
perlengkapan penghangat badan. Karena jam di tangan masih menunjukkan pukul
12.00 malam, kami masih memiliki kesempatan untuk tidur selama 2 jam.
Melihat
keadaan di dalam mobil, kami bertiga tidak memungkinkan untuk tidur di mobil. Akhirnya,
kami mencari lokasi penginapan gratis, apalagi kalau bukan Musholla. Awalnya kami
takut, karena tidak ada seorang pun yang tidur di Musholla. Tapi Kami sudah
tidak tahan dengan hawa dingin yang menyerang. Jaket yang saya pakai sepertinya
tidak berguna. Tulisan “Dilarang tidur di Mushollah” kami abaikan. Sajadah tebal
yang ada di masjid seperti telah disiram dengan air es, basah dan dingin
sekali. Rasa kantuk kami berperang melawan hawa dingin, sesekali rasa kantuk
yang menang, tapi tidak jarang hawa dingin mengalahkan rasa kantuk kami.
Karena kami
takut kesiangan, kami member kabar kepada teman yang ada di mobil untuk
menelpon kami pada pukul 02.00 am.
Dalam keadaan
yang sangat terlelap, saya kaget dan terbangun dengan memohon ampun. Sleepingbad
yang kami gunakan sebagai selimut, tiba-tiba ditarik oleh sang pemilik, Donny. “Bangun,
bangun, brrrrr”, ujar Donny kepada kami. Waktu tidur yang sebentar itu, telah
menyisakan cerita yang banyak, mulai dari tarik-menarik selimut alias rebutan
selimut, hingga saling merapatkan badan untuk melawan rasa dingin. He
Setelah semua
tersadar dalam tidur masing-masing, kami segera bangkit dan menuju mobil. Keadaan
di pintu masuk sudah mulai ramai, para wisatawan sudah sibuk dengan persiapan
menuju puncak. Kami juga tidak mau kalah, Hardtop yang kami sewa telah menunggu
kami.
Taraa, akhirnya
kami berangkat menuju puncak. Sayang, sopir yang akan mengantarkan kami kurang
bersahabat. Ia bangsat, bahkan lebih bangsat dari calo tadi. Pokoknya ini
menjadi pelajaran bagi kami ke depan. Bagi kalian yang akan menuju Bromo juga. Ingat
ya, satu Hardtop itu bisa diisi dengan 8 orang. Harga sewanya cukup Rp. 400rb
rupiah. Itu sudah termasuk jasa antar jemput untuk spot puncak tertinggi, terus
turun ke bawah untuk menuju kawah. Berapa lama?, tentu terserah pada pihak
penyewa. Jangan mau jika sopir minta anda kembali pada jam-jam yang telah
ia tentukan sendiri.
Meski diwarnai
debat yang panjang, akhirnya kami berangkat menuju puncak untuk melihat
sunrise. Asyik… tiba di sana, ternyata kami masih harus berjalan, mendaki
lereng. Sekitar pukul 04.30 pm, kami tiba di puncak. Masih ada kesempatan bagi
saya untuk menunaikan Sholat subuh. Setelah itu kami berfoto-foto ria. Subahanallah,
inilah yang kami tunggu. Memanfaatkan waktu terbitnya matahari yang sebentar,
kami berusaha menjadikannya sebagai momen berfoto yang paling indah. Disana juga
banyak turis asing dari Perancis, kami pun mengajaknya berfoto bareng. “This is
the best view in Asia,” ia mengungkapkan kekagumannya atas keindahan yang
sedang ia lihat. Sungguh, penciptaan-Nya sangat luar biasa, tanpa cacat dan tak
tertandingi.
Meski tidak
ada kata puas dalam hati, kami harus segera turun untuk menyaksikan karya
indah-Nya yang lain, yakni kawah bromo. Dengan menggunakan Hardtop, kami menuju
kawah Bromo. Meski dari awal sopirnya tidak bersahabat, kami merasakan
kenikmatan dalam perjalanan, melewati lading pertanian, rumah-rumah penduduk,
hingga lautan pasir di Bromo yang sangat terkenal. Saya sendiri merasa sedang
berada di atas speed boat yang sedang melaju di lautan, waw, berombak.
Setelah sampai
di batas akhir pemberhentian, kami turun. Dan siap melanjutkan perjalanan dan
pendakian panjang menuju kawah Bromo. Tentu, kamera tidak pernah kami diamkan. Apapun
yang menarik, selalu kami abadikan. Indah bro.
Naik ke
kawah, memang butuh perjuangan berat. Meski banyak pemilik kuda menawarkan untuk
naik kuda, kami dengan tegas menolak. “Kita lho anak TEB (Tim Ekspedisi Biokonservasi,
.red),”
celetuk salah satu teman kami. He
Sesekali kami
berhenti untuk menikmati keindahan alam sekitar, sekaligus menghilangkan rasa
letih. Semakin lama, kami semakin mendekati tangga menuju puncak kawah. Dari kejauhan,
ribuan orang yang menuju puncak terlihat seperti semut yang berjalan rapi. Ya Allah,
betapa kecilnya hamba-Mu ini.
Huh…….
akhirnya anak tangga pertama menuju kawah telah kami injak. Ini seperti
perjalanan hidup dalam memperjuangkan mimpi bro. “Positive, Persistence, and
Pray,” Insyaallah berhasil, demikian kata M. Assad di dalam bukunya. He
Setelah berjuang
keras, kami pun tiba di kawah yang terbilang aktif ini. Ya Tuhan, saat melihat
ke bawah, lutut saya bergetar. Seluruh kemampuan kami tertunduk atas ciptaan-Mu
yang luar biasa ini. Semakin lama saya melihat ke bawah, semakin kuat getaran
yang ada dalam diri saya. Saya tidak mampu, dan menyerah. Ingin segera kembali
ke bawah. Tapi, sebagai kenang-kenangan, kami semua menyempatkan diri untuk
berfoto ria. Syal Palestina yang saya gunakan, saya bentangkan di atas kawah
bromo.
Sebagai manusia,
kami tidak bisa menduga-duga. Bisa saja Allah menyemburkan lahar panas, ketika
kami sedang berada di bibir kawah. Tapi, Allah Maha Penyayang, masih memberikan
kesempatan kepada kami untuk bernafas, bergerak, bertaubat, dan menikmati
rejekinya. Terima kasih tak terhingga Ya Allah.
Foto-Watch sunrise: Di Puncak, bersama turis asing asal Perancis. "This is the Best View in Asia," menurutnya.
Foto-Padat: Perjalanan menuju puncak kawah Bromo.
Foto-Curam: Inilah kawah yang membuat hati saya tertunduk.
Setelah
menyaksikan secara langsung, kami semua segera turun, dan bersiap untuk
mengakhiri perjalanan kami. Sungguh Indah. Di sepanjang perjalanan, hati saya
masih saja belum puas untuk menikmati keindahan Bromo. Saya berjanji, akan
mengunjungi mu lagi, Bromo yang indah, yang mampu menggetarkan hati kami.